Thursday, January 31, 2013

Artikel Bahasa Indonesia










Sudah lama gak nge-blog, jadi pengen nge-posting sesuatu nih :)

Berhubung saya ada tugas ngumpul artikel dan sudah ketemu saya pun memutuskan untuk memposting artikel temuan saya ini. Kiranya dapat bermanfaat :)



Orang Miskin Wajib Sekolah



        UNGKAPAN ‘orang miskin dilarang sekolah’ , sebagaimana juga menjadi judul buku Eko Prasetyo (2004), sedikit demi sedikit mulai pudar kebenarannya-meskipun realitas kemiskinan tetaplah menjadi hantu menakutkan. Eko mengkritik dengan keras kesemrawutan sistem pendidikan nasional dan kesenjangan sosial. Pendidikan, menurut dia, hanya bisa diakses orang-orang kaya semata, sedangkan masyarakat miskin banyak yang tersingkir karena tak mampu membayar ongkos mahal biaya pendidikan.

        Dari kacamata ekonomi politik global, pendapat Eko tersebut dapatlah dibenarkan tentang apa yang lazim disebut dengan kapitalisasi atau ko mersialisasi pendidikan. Dalam teori ini, praktik pendidikan layaknya sebuah pasar yang di dalamnya terdapat ‘jual-beli’ antara penyelenggara/pengelola lembaga sekolah/kampus dan orangtua siswa/mahasiswa lewat besaran biaya pendidikan.

        Praktik komersialisasi tersebut semakin mengukuhkan liberalisasi yang digagas Alexander Rustow pada 1930-an, yang kemudian dipopulerkan dua begawan neoliberalisme, Milton Friedman dan Fre derik van Hayek, layaknya virus yang mematikan, menjalar dalam setiap tatanan sendi kehidupan. Maka, orientasi pendidikan bergeser, berpegangan pada selera masyarakat industri dan selera pasar (market society).

        Artinya, liberalisasi cenderung menempatkan institusi pendidikan sebagai lembaga penghasil mesin yang siap menyuplai pasar industri, yang efektivitas dan efisiensinya mesti diukur secara ekonomis.
Henry A Giroux dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education (1993) menyebutnya dengan istilah `degradasi identitas', yaitu dari institusi yang menyelenggarakan pendidikan publik menjadi pabrik kuli (Wibowo, 2008: 115).

        Itu sebabnya, ketika praktik pendidikan nasional dihujani kritik tajam oleh sejumlah kalangan karena telah menjalankan komersialisasi pendidikan, tidak ada yang menyangkal kebenarannya.

        Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kini gencar menggalakkan program pendidikan untuk masyarakat kurang mampu atau miskin.
Di level sekolah dasar dan menengah, terdapat program bantuan operasional sekolah (BOS) yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini. Sayangnya, program BOS masih menimbulkan persoalan pelik dan menyebalkan, seperti temuan korupsi massal oleh para kepala sekolah, keterlambatan penyaluran dan buruknya sistem pengawasan atas penggunaan dana BOS, dan tidak tepatnya sasaran.

        Setelah itu, begitu siswasiswi lulus dari tingkat SMU/ MA atau yang sederajat, mereka langsung disambut dengan program beasiswa Bidik Misi, yang juga secara khusus diperuntukkan calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang memiliki prestasi akademik gemilang. Program ini sepintas memang layak dan patut diapresiasi, tetapi bila dicermati secara saksama lagil lagi terdapat beberapa persoa alan krusial, baik menyangkut konsep maupun teknisnya.

        Program beasiswa Bidik Misi hanya membidik kondisi ekonomi maha(siswa) kurang mampu sekaligus yang mempunyai prestasi bagus, sedangkan mereka, yang walaupun samasama berasal dari keluarga kurang mampu tapi tidak mempunyai prestasi akademik, cenderung terabaikan. Pada tahap itu, bantuan pendidikan untuk masyarakat miskin tidak merata.

        Ada pula alternatif lain, yaitu bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu disediakan kompetisi beasiswa on going di setiap kampus swasta maupun negeri, tetapi itu masih spekulasi. Tidak ada jamin an mereka yang miskin mampu membayar biaya kuliah untuk semester satu hingga semester berikutnya sebagai persyaratan memperoleh beasiswa dan persyaratan persyaratan lain seperti standardisasi minimal IPK.

        Mestinya ada domain lain yang dapat mengafirmasi beasiswa atau bantuan dana pendidikan bagi para pelajar dari kalangan kurang mampu yang tidak memiliki prestasi akademik, misalnya anak tersebut dikenal jujur; sopan kepada guru, orangtua, dan masyarakat; tidak memiliki catatan buruk selama sekolah; dan lain sebagainya. Bukankah sifat itulah yang disebut sebagai pendidikan karakter--sebagaimana dikampanyekan dan sekaligus dicita-citakan Kemendikbud? Lalu, mengapa itu luput dan cenderung diabaikan pemerintah?
Padahal, sesuai dengan fungsinya, lembaga pendidikan (sekolah/PT) sekurang-kurangnya memiliki empat fungsi utama, yaitu 1) sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, 2) konservasi dan pengem bangan ilmu pengetahuan, 3) penguasaan life skill dan teknologi, dan 4) sarana pemba ngunan karak ter (Ismail, 2006). Fungsi pendidikan tersebut se h a r u s ny a berjalan se suai dengan proporsi yang seim bang. Siswa t i d a k h a ny a mampu meng andalkan kemam puan pikir dan kog nitif yang baik, tetapi juga memiliki jiwa dan karakter yang luhur.

Memanfaatkan beasiswa?

        Namun, terlepas dari kekurangan tersebut, tentu saja tetap ada banyak dampak positif yang bisa diperoleh, yakni semakin terbukanya akses mengenyam pendidikan bagi keluarga kurang mampu dengan memanfaatkan program beasiswa. Siswa-siswi generasi bangsa kita kini dapat menjangkau cita-cita mereka yang mungkin terancam terkubur.

        Program beasiswa untuk kalangan tidak mampu, baik di level SD, SMP/SMU, maupun PT, diharapkan dapat mengurangi angka putus sekolah lantaran mahalnya biaya pendi dikan. Program ini, jika dimanfaatkan dengan baik, sesungguhnya menjadi sarana yang sangat jitu untuk membuktikan kepada publik bahwa pelajar dari kalangan kurang mampu tidak kalah bersaing secara fair (dalam hal keilmuan) dengan mereka dari kalangan orangorang kaya.

        Kepintaran atau prestasi akademik tidaklah sematamata dipengaruhi faktor tunggal kondisi ekonomi yang serbaada atau serbacukup. Hal yang tak kalah pentingnya ialah kesungguhan belajar untuk meraih cita-cita. Fakta telah berbicara, di negeri ini ada banyak kisah kesuksesan pelajar yang justru berasal dari kalangan kurang mampu.

        Baru-baru ini, misalnya, tersiar kabar seorang siswi bernama Siti Fatimah menjuarai Olimpiade Sains Nasional bidang astronomi tahun 2011 di Manado, Sulawesi Utara. Ia berasal dari kalangan tidak berkecukupan. Siswi kelas III SMA Negeri 1 Sampang, Madura, itu harus berjalan kaki 1 kilometer dari rumahnya karena tidak bisa dilalui sepeda motor. Setelah itu, ia baru diantar pamannya ke jalan raya untuk selanjutnya naik angkutan ke sekolah. Bahkan, banyak pula media yang melansir rumah Siti yang hanya berlantai tanah, di tengah tegalan di Dusun Dualas, Pa ngongseyan, Sampang, Madura, Jawa Timur.

        Ada pula nama lain yakni Gusnadi Wiyoga, yang pernah tampil di acara Kick Andy. Dalam talk show singkat itu, terungkap bahwa Gusnadi anak seorang tukang sol sepatu. Namun sejak duduk di bangku SD, Gusnadi memang sudah tergolong encer otaknya, terutama di bidang fi sika dan matematika.
Dia bahkan sudah mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi matematika dan fi sika, baik di tingkat nasional maupun internasional. Gusnadi berhasil menyabet medali emas pada lomba Sains dan Mathematic di Jakarta pada 2007. Pada 2009, ia meraih medali perak di Filipina.

        Dengan melihat fakta prestasi yang diraih kalangan pelajar dari masyarakat kurang mampu tersebut, memang sudah sepantasnya pemerintah memberikan dukungan moral dan materi bagi mereka untuk mengenyam pendidikan. Hal itu sesuai dengan mandat UUD 1945 bahwa semua anak bangsa memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak, tanpa memedulikan status atau kelas sosial.

        Pendidikan merupakan proses ketika seseorang memperoleh pengetahuan (knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan (skill development) sikap atau mengubah sikap (attitude change).
Pendidikan merupakan suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal-hal tertentu sebagai hasil dari proses pendidikan yang diikutinya.

        Karena itu, upaya pemerintah mengampanyekan ‘wajib belajar 12 tahun’, menurut saya, kurang tepat jika dilihat dari pilihan paradigma yang sekaligus menjadi jargon imbauan untuk mengurangi angka putus sekolah, termasuk pula batasan tingkat belajar. Imbauan itu semestinya langsung menyebutkan sebuah ungkapan empati, ‘orang miskin wajib sekolah’. Mengapa demikian?

        Pertama, berdasarkan data yang diketahui, jumlah anak yang putus sekolah berasal dari keluarga tidak mampu sehingga dengan demikian, imbauan ‘orang miskin wajib sekolah’ sangatlah lebih tepat dan terasa mengena. Kedua, pendidikan formal sejatinya tidak perlu dibatasi berapa tahun (seperti pada imbauan 12 tahun). Ia minimal sekolah, tetapi harus dipacu terus setinggi mungkin. Itulah tugas dan tanggung jawab pemerintah yang harus diimplementasikan demi mencerdaskan generasi bangsa. Semoga!






SUMBER : (http://artikelkorankompas.blogspot.com/2012/03/orang-miskin-wajib-sekolah.html)








This entry was posted in

0 comments:

Post a Comment